Friday, October 14, 2011

Aku Mau Hak ku

Posted by rismawid at 7:34 PM
 Oleh : @rissmot
(Cerpen yang ga tau kapan bisa di terbitkan).



"Istrimu mau ga ya berbagi suami denganku?"

Kalimat itu terlontar begitu saja ketika aku sedang asik chating dengan kaka kelasku dulu semasa aku kuliah, Banyu hanya memberi jawaban tanda tanya.
"Kamu kenapa Amira?"
"Aku mau menikah, tapi denganmu"
"Kenapa aku?"
"Karena selain pacarku Dimas aku cuma mau kamu."
"Apa yang harus aku katakan sama istriku?"
"Tak perlu bicara apa-apa, biar aku yang meminta izin"
"Silahkan kalau Rini mengizinkan"
"Ok"
Aku pun menyudahi obrolan ngaco kita, ya memang ngaco tapi akhirnya jadi terpikir.


Dua tahun penantianku terhadap Dimas kekasihku, entah apa yang salah dengan diriku, dia tetap tidak yakin terhadapku. Dua tahun kami berpacaran, aku pikir aku sudah sangat mengenalmu, aku kenal setiap part dalam dirimu, caramu berpikir, caramu memandang hidup, caramu berusaha mengejar mimpi-mimpimu. Aku hafal betul bagaimana kamu marah, kamu tertawa, kamu menghabiskan sisa makananku. Aku akan tertawa terpingkal-pingkal ketika kamu membuat lelucon, aku akan cubit sedikit lemak di perutmu ketika kamu mulai menggaruk-garuk punggungmu yang selalu gatal jika berkeringat. Tak ada yang salah dengan hubungan kami, kami saling mencintai, hari demi hari kami lewati bersama, tak ada batasan antara aku dan Dimas sekalipun sehelai benang, kami berbagi kasih, berbagi duka, berbagi mimpi, berbagi tempat tidur.

Satu tahun setengah kami jalani hidup dengan tinggal bersama, bukan hal mudah memang, tapi faktanya kita selalu bisa melewati pertikaian-pertikaian yang terjadi. Aku sadar kamu kurang peka, aku sadar kamu ceroboh, aku sadar kamu game maniak, aku sadar terkadang kamu lebih senang menghabiskan waktumu dengan laptop, entah apa yang kamu lakukan disana, aku sadar kamu tak begitu memanjakan aku, aku sadar kamu sering pulang malam, itu bukan masalah bagiku, aku betul-betul menyadari semua kekurangan dan kelebihanmu, dan aku siap menerima semua itu. Betapa pun kamu menyebalkan aku tetap bisa memaafkanmu, kamu menyentuh hati dan jiwaku, kamu telah merubah hidup dan tujuanku, aku belajar banyak darimu, dan aku tahu aku sadar aku terlampau mencintaimu, lalu semua pahit dan manis yang sudah kita lewati ini harus berakhir karena sebuah benteng kokoh yang menamakan diri sebagai ego.

Ego ku dan ego mu, entah sekokoh apa benteng tersebut sampai bisa meluluh lantahkan perjuangan cinta kita. Aku wanita dan tak lagi muda dan kita hanya terpaut 1 umur, aku yang 25 tahun dan kamu yang 26 tahun, ternyata ini akar dari jatuhnya perjuangan cinta kita. Saat wanita menginjak umur 25, bukan hal yang tabu jika ia menginginkan menikah, punya anak saat usia masih produktif, apalagi tengah berpacaran, sama-sama punya penghasilan tetap, apa itu salah? Jika memang salah tolong tunjukkan dimana letak salahnya?

Aku bersedia menunggumu jika kamu menginginkan aku menunggu, tapi tolong beri aku petunjuk, berapa lama aku harus menunggu? Beri aku kisi-kisi tentang masa depan hubungan kita. Aku bersedia membantumu mengumpulkan kepingan-kepingan untuk pondasi yang akan kita bangun, tapi aku mohon beri aku petunjuk, bukan membiarkan aku menunggumu tanpa kepastian, waktu terus bergulir demikian dengan usiaku,juga tuntutan dari keluargaku, aku bukan wanita metropolis yang mencintai kebebasan tanpa ikatan.

Hari itu pun tiba, hari di bulan November, hari dimana kita genap 2 tahun berpacaran, hari itu pula kita mengakhiri semua kemelut, keindahan, dilemma, kebahagiaan, yang sejauh ini sudah kita ciptakan.
“Ini waktunya sayang, waktunya kamu beri aku kepastian akan masa depan hubungan kita apapun keputusnmu aku sudah persiapkan diri”
“Beri aku waktu lagi Amira”
“Berapa lama?”
“Aku ga tau, aku ga bisa mutusin itu sekarang”
“Lalu kapan mau mutusinnya?”
“Aku ga tau, yang jelas aku masih butuh waktu”
“Waktu bisa sama-sama kita ciptakan jika kamu sudah punya keyakinan akan menikahiku”
“Tolong Amira jangan desak aku”
“Aku hanya menuntut hak ku Dimas, apa itu salah?
“Tidak itu tidak salah, hanya waktunya yang salah”.
Dimas menunduk dan selalu memalingkan muka tak pernah menatapku, aku tak mengerti apa yang membuat dia seperti itu, sampai sayup-sayup terdengar kalimat lirih dari mulut Dimas.
“Aku tidak bisa Amira, kamu cari lelaki lain saja, jika untuk waktu saja kau tidak bisa berikan, itu membuat aku semakin tak yakin”.

Tidak Tuhan, dunia ini masih kokoh berdiri, aku masih harus melanjutkan hidup esok hari bukan? Aku sudah menyiapkan semua, apapun keputusan Dimas aku sudah siap, tapi aku tak pernah membayangkan perasaanku di gores sedemikian dalam olehnya, perih Tuhan, sangat perih, rupanya ini yang tak pernah aku persiapkan, pengobat luka perih ini. Kita benar-benar mengakhirinya. Bukan, bukan kita yang mengakhiri tapi aku, ya memang aku yang mengakhiri segala ketidakpastian ini. Tak pernah aku mau membayangkan perasaan Dimas ketika aku mengemasi semua barang-barangku dan melangkah pergi meninggalkan kamar kita, dimana kita berbagi segalanya disana, aku tetap harus melangkah karena tak terdengar suara panggilan yang berusaha menahanku, sampai akhirnya aku benar-benar terbangun dan sadar, ya semua memang sudah berakhir, tak ada lagi kita yang ada hanya aku, Dimas, dan kehidupan.

Aku mengemas semua kesedihan ini, luka ini, kecewa ini, kemanapun aku pergi perasaan itu tetap ada, betapapun aku coba lupakan luka ini tetap terawat, aku tak lagi ingin memulai sesuatu yang baru, ternyata ini juga yang tak aku persiapkan. Aku hanya berpikir ingin memulai sesuatu yang sempat tertunda bersama Banyu, kakak kelasku yang selalu aku kagumi, tapi tak pernah aku cintai, lalu apa yang bisa aku lakukan ketika mendapati Banyu yang tak lagi sendiri.

Malam ini, malam di bulan Desember, aku bersimpuh sujud di kaki Rini, memohon agar dia mau berbagi suami denganku. Aku tahu jawaban tidak atau bahkan pengusiran akan dilakukan Rini terhadapku, tapi aku tak peduli ini sudah aku persiapkan. Aku tersesat, aku kehilangan kompas hidupku, aku tak lagi mengenali diriku. Banyu mencintaiku, dia menikahiku tanpa Rini ketahui. Salahkah jika aku menuntut hak ku?

1 comments:

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos