Tak ada yang bisa dilakukan. Enam puluh menit berlalu hanya bolak balik menatap sumber angin yang tepat berada di kepalanya, kemudian menatap lenganya yang menampakkan bulu-bulu halus yang sedari tadi tegap berdiri seperti duri bunga kaktus. Diperhatikannya lembaran-lembaran buku agenda yang menganga diatas mejanya. Lembaran demi lembaran mengayun, menari-nari tertiup angin dari atas kepalanya.
Sembilan puluh menit berlalu, hidungnya mulai menghasilkan suara-suara bising dan mulai bercucuran. Jari-jarinya yang lentik mulai memijat-mijat keningnya. Tak kuasa lagi ia pun bergegas ke cermin. Kaget bukan main, ia dapati wajahnya pucat pasi layaknya mayat hidup, kulitnya mulai mengering dan mengelupas di beberapa tempat. Parah! jangankan mengerjakan hal penting, membuat nyaman dirinya sendiri pun ia tak mampu. "Rasanya ingin kututupi semen saja cerobong udara penyejuk ini, apa harus separah ini nasib karyawan baru?" gumamnya dalam hati.
Sembilan puluh menit berlalu, hidungnya mulai menghasilkan suara-suara bising dan mulai bercucuran. Jari-jarinya yang lentik mulai memijat-mijat keningnya. Tak kuasa lagi ia pun bergegas ke cermin. Kaget bukan main, ia dapati wajahnya pucat pasi layaknya mayat hidup, kulitnya mulai mengering dan mengelupas di beberapa tempat. Parah! jangankan mengerjakan hal penting, membuat nyaman dirinya sendiri pun ia tak mampu. "Rasanya ingin kututupi semen saja cerobong udara penyejuk ini, apa harus separah ini nasib karyawan baru?" gumamnya dalam hati.
0 comments:
Post a Comment
silahkan anda berkomentar