Thursday, April 19, 2012

I love myself "part I"

Posted by rismawid at 2:18 PM
Belajar bikin cerbung

Minggu depan Rifki menikah, damn!! enam bulan yang lalu pria ini terang-terangan gue tolak mentah-mentah cintanya. Sebulan kemudian sahabat baik gue Ami menuju pelaminan juga, oh Tuhan belum genap enam bulan Ami dan Tio pacaran, tapi... sudahlah kebahagiaan untuk Ami, gue pun akan bahagia. Tiga bulan sebelumnya gue juga dapat invitation wedding ceremony dari pria yang pernah mengisi hari-hari gue tapi gue sia-siain dan gue tinggalin demi pria yang sekarang jabatannya masih pacar gue. "Maaf Aidil aku ndak iso dateng, kantorku sibuk luar biasa". Dengan dipoles sedikit bumbu-bumbu dusta sms pun dikirm pada Aidil, ga masalah lah bohong dikit yang penting dia ga tau kalau gue agak shock dan ga kuat malu kalau harus menghadiri pernikahannya. Bukan karena masih cinta tapi betul-betul tak punya keberanian untuk muncul dihadapan mama papanya Aidil. Secara dua setengah tahun yang lalu mama papa Aidil bertanya untuk memastikan apakah gue sudah yakin terhadap putranya. Dengan percaya diri gue jawab "Iya bu Insya Alloh saya yakin". Tapi kenyataannya dua bulan kemudian putra ibu saya sia-siakan, maaf.


Siang ini seperti biasa matahari selalu melakukan sale dimana-mana membuat hati gerah dan otak terbakar, tiba-tiba saja manusia itu duduk disebelah meja kerja gue, mau apa lagi ni orang ditengah suasana gue yang panas membara deket-deketin gue, minta dibakar kali ya. Entahlah ya sama makhluk yang satu ini gue suka males dideketin, dia tuh selain suka rese, ganjen pula.

"Mau apa lu?"
"Jalan yuk Sa weekend ini, suntuk gue"
"Kenapa harus ngajak gue sih Ry? kan lu tau weekend itu waktunya gue spend all my time sama cowo gue"
"Lah emang kenapa, cowo lu ya cowo lu, gue ya gue, kalo gue pinginnya ngajak lu emang salah?"
Tuh kan apa gue bilang si Hary ini kalo deket-deket gue pasti mau bikin gue murka, ga liat apa sebentar lagi gue berubah jadi naga dan siap menyemburkan api.
"Engga bisa Ry, udah ah sana gue sibuk"
"Lu ga pernah sadar ya Sa kalo gue ni suka sama lu"
Waduh kesambet setan dari mana ni manusia, tiba-tiba aja nyatain perasaan. Cukup ignore saja ga usah dipedulikan. Tapi yang selalu gue heran dari Hary adalah, ini makhluk boleh dibilang udah mapan, dengan modal rumah type 150 dan mobil yang harganya tiga ratus jutaan, kerjaan yang boleh dibilang menuju comfort zone lah, ditambah wiraswasta juga, itu semua dia miliki di usianya yang belum menginjak tiga puluh tahun. Kalau dari segi tampang gue rasa ga malu-maluin banget lah buat dibawa kondangan. Tapi kenapa dia masih single aja ya? akh sialan kenapa gue pikirin sih, sudah abaikan tak usah dipikirkan.

Dari berbagai rentetan kejadian yang punya tema pernikahan, ternyata membuat gue lumayan terganggu. Bukan karena iri tapi perasaan ini seperti... akh ya ampun seutas penyesalan seperti mulai menampakkan wujudnya. Penyesalan? apa yang patut disesali? menyesal karena  menolak Rifki? atau menyesal karena menyia-nyiakan Aidil? Astaga gue ini kenapa, bangun Disa, lihat siapa yang bersamamu saat ini? konsentrasilah pada pilihanmu. Lihat dia pria yang sudah mengalahkan Aidil juga Rifki. Dia juga yang gue perjuangkan di depan ayah ibu. Dia pria yang gue gadang-gadangkan akan menjadi bapak dari anak-anak gue kelak. Pria sedikit agak tampan, pintar, intelek, pengetahuannya luas, punya selera musik bagus, humoris, pendengar yang baik, pandai menabung, tak banyak menuntut walaupun kurang begitu penyabar. Pria yang selalu bisa menjadi penghibur gue juga jadi lentera disaat gue padam semangat. Dan yang terpenting dialah yang membuat gue mau merubah pola hidup gue yang berantakan dan tidak sehat menjadi lebih terarah, walaupun baru berubah sedikit, setidaknya gue satu langkah telah maju melakukan perubahan yang baik.

"Den temen-temenku pada nikah, ada yang minggu besok, ada yang bulan besok, hebat ya mereka. Padahal umur pacaran mereka ga pada sampe satu tahun lho Den"
"Oooh, siapa aja emang? ya udah jodohnya kali"
"Kok bisa tau itu jodohnya? kalau aku sama kamu gimana? jodoh ga? kan kita udah tiga tahun lho pacaran"
"Emm ga tau"
Kenyang rasanya gue, padahal ini makanan baru gw makan beberapa suap. Sabar Disa sabar, tarik napas dalam-dalam, ngadepin si pacar gue yang satu ini kalo ga pinter-pinter bersabar bisa membangunkan Hitler yang sudah tenang di alam baqa.
"Pertanyaanku simple sih Den. Kamu kapan mau ngelamar aku?"
satu lagi moment yang harus gue persiapin agar tetap under control.
"Emm ga tau, aku belum yakin"
"Maksudnya belum yakin gimana Den? belum yakin sama apa?"
Dengan tampang innocence nya dia ngejawab "Ya aku belum yakin sama kamu"
Oh yess, tanpa disadari air mata berdesakan berebut meluncur dari mata. Karena mata gue ga punya kantung besar, akhirnya pada menetes tu air mata ga bisa dibendung oleh apapun lagi. Dalam tangis gue hanya diam menunduk menyembunyikan kepedihan yang baru aja menghampiri gue, sembari sesekali menyeka tetesan-tetesan air mata yang sulit untuk dihentikan. Gue tak berkata sepatah kata pun, gue hanya memaki-maki dalam hati. Sinting lu Dena udah tiga taun kita pacaran masih aja lu ga yakin sama gue, udah sejauh ini kita pacaran tetep ga yakin juga gue yang terakhir buat lu. Bencong lu Den ga punya nyali lu. Nyusu aja sono sama sapi ga usah pacaran kalau ga berani komitmen. Lu ga mikir ya Den, kalimat yang baru aja lu keluarin itu betul-betul membuat gue ga ada artinya sebagai seorang wanita. Lu berhasil nyakitin gue Den. Fyuh tenang Disa tetap tenang, ini tempat umum, bukan gue banget kalo harus mempermalukan diri di tempat umum.

Teh panas itu gue tenggak dalam waktu singkat, sebetulnya lidah gue perih, tapi yasudahlah masa mau merengek karena kebakaran lidah. Pria bajingan ini harus sadar kalau dia sudah salah mengucap kalimat.
"Emm Sa, are you ok?"
Setan emang lu ya, masa lu ga tau gue segini ga ok nya. Derita nestapa Dena menyakitkan....
"Ah aku hanya sedikit shock" Keep cool Disa, be a nice girl, eh women.
"Emang kamu udah yakin banget ya sama aku?" dengan entengnya Dena nanya gue. Buset ni manusia bener-bener ga punya perasaan, malah nanya balik. Gue nanya kapan mau ngelamar apa itu ga cukup nunjukin kalo gue udh yakin sama dia! Huh ok mungkin otak dia abis keserempet bajaj jadi rada-rada lemot. Ini saatnya gue ceramah panjang lebar.
"Gini ya Den, dasar pemikiranku itu adalah cinta, mencintai seseorang atau tidak tergantung pada pikiran kita. Cinta lahir dari kenyamanan dan kebahagiaan bukan sebaliknya. Kamu sadarkan kita ga ada proses jadian? semua mengalir begitu saja, bersama denganmu aku merasa nyaman dan bahagia, aku udah anggap itu alasan yang cukup untuk aku mencintai kamu. Setahun berlalu itu aku anggap masanya aku mengenalmu sedalam-dalamnya, tahun kedua aku anggap adalah sekolah bagiku, aku menyekolahkan hati dan pikiranku, belajar menerima baik dan buruknya kamu. Kamu itu belum sempurna buatku Den, tapi aku ga akan maksain diriku untuk merubah kamu menjadi seperti yang aku mau. Kalau aku seperti itu, namanay aku egois, aku ga mau egois, aku mau dewasa. Jadi aku putuskan untuk hal keyakinan itu sebetulnya terlalu egois, yang harusnya dilakukan setiap pasangan adalah yakin terhadap diri sendiri bukan terhadap pasangan. Meyakinkan diri sendiri apakah aku mampu menerima dia baik dan buruknya. Bagiku tumbuh dewasa bersama-sama akan lebih mudah dan lebih berarti, ketimbang pontang panting berusaha dewasa sendiri. Kamu paham kan maksudku?"
Huh wow, gue bisa ceramah se-mature itu rasanya wow banget, tapi gue ga yakin apakah Dena bisa mengikuti pola pikir gue. Gue perhatikan ekspresi Dena seperti kosong, entahlah apa yang dia pikirkan. Pembahasan mengenai pernikahan kita lagi-lagi berujung pada gantungan baju.

Hari-hari berikutnya, gue ga ngerti sama perasaan gue, rasanya semakin ga jelas, tetes-tetes keraguan memercik di benak. Gue seolah ingin berontak pada kesabaran gue. Gue ingin ninggalin Dena. Bersamanya gue nyaman dan bahagia, tapi sepertinya dia tidak merasakan hal yang sama. Baiklah lebih baik gue tanya lagi apa dia masih tetap berdiri pada persepsinya.

....bersambung



0 comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos