Friday, August 10, 2012

Kunang-kunang di temaram malam

Posted by rismawid at 10:21 AM
KEPARAT!!!
"Miskin gue ga semiskin lu gigolo sinting!!!"
"Tahan Ray, please gue mohon"
Ia menjerit-jerit seperti sedang kesurupan.
***
Seteguk terakhir aku habiskan untuk menghangatkan tubuh. Malam ini sangat temaram. Sedikit mengkhayal mendapati kunang-kunang disini. Khayalan bodoh. Tentu saja setiap hari yang kudapati adalah kunang-kunang. Sinar yang terpancar begitu bening dan berbau harum, hilir mudik berterbangan melewati batang hidungku, sesekali kuhisap dalam-dalam aroma kunang-kunang yang mengerling. Harummu membuat degub jantungku memompa liar. Sepasang mata ini lekat-lekat menikmati panorama kunang-kunang namun aku tetaplah aku, jangankan untuk berlari menangkap kunang-kunang, terpikir mengejarnya pun tak pernah kuijinkan. Setiap hari hanya diijinkan menelan ludah.

"Bir satu bang"
"Silahkan mba"
"Nebeng duduk ya"
"Boleh mba silahkan"

Duduk saja tak akan saya tagih kok mba, bila perlu birnya saya ga kasih harga mba. Saya ikhlas kios rokok butut ini mba duduki lama-lama. Pria sinting bergumam dalam hati, padahal menatap wanita saja tak berani.

"Ratih"
Wanita pembeli bir ini menyodorkan tangan. Apa ini artinya ia mengajakku berkenalan?
Sedikit bergetar kuberanikan membalas sodoran tangannya.
"Ray. Raymond"
Ucapku sangat terbata-bata.
"Raymond? keren amat nama lu. Tapi ga sekeren rejekinya ya?"
Ratih menatap langit lalu meraih lenganku yang sedari tadi mematung dibawah lampu jalan diatas trotoar.
"Becanda Mon. Eh Ray maksudnya. Duduk sini temenin gue"
Rasanya aku tak perlu berfikir panjang, aku putuskan akan duduk disamping Ratih.
"Nunggu dijemput mba?"
Aku memberanikan diri memulai percakapan
"Emm bukan. Gue nunggu dihajar"
Nada bicara Ratih begitu santai tanpa beban.
"Akh mba Ratih ini suka becanda"
Ratih melirikku dan tersenyum.
Dewa yang agung wanita disampingku manis sekali. Baunya harum, tak bosan aku menghisapnya. Apakah ini kunang-kunang? Bolehkan aku. Ah tidak aku kan hanya diijinkan menelan ludah.

Pukul 02.00 lewat tengah malam. Sebuah mobil sedan hitam berhenti tak jauh dari kiosku, kira-kira 20 meter. Ratih berdiri meletakkan uang 50.000 di pangkuanku.
"Semoga rejekimu kelak sekeren namamu"
Bisiknya sambil berlalu dari hadapanku. Kini indera penciumanku sedang bermanja-manja dengan bau harum yang Ratih tinggalkan. Seketika saja aku tersadar, apa ini artinya pertemuan pertama sekaligus terakhir dengan Ratih?

3 orang pria keluar dari mobil, salah satunya menghampiri sekumpulan orang pinggiran yang sedang mengemper di emperan ruko-ruko sepanjang trotoar jalan Mangga besar. Kuperhatikan Ratih berjalan ke arah 2 pria yang bersenderan di sedan hitam yang terparkir di pinggir trotoar. Malam mulai meniupkan nafas-nafas dingin menusuk tulang, jaket lusuhku sudah benar-benar tak bisa lagi menahan terpaan nafas malam. Dan entahlah malam ini terasa sangat dingin dan temaram.

"BANGSAT!!!"
Banci lu semua!!!
Suara perempuan dari jarak 20 meter. Tak salah lagi itu suara Ratih. Aku berlari menghampiri keributan yang sedang berlangsung di tepi jalan di balik mobil sedan hitam.
"HENTIKAN!!!"
Pekikku mencoba melerai penganiayaan yang mereka lakukan terhadap Ratih. Ratih sudah tersungkur diatas aspal jalan, darah bercucuran dari hidung dan pelipisnya, kedua pria biadab ini masih saja melancarkan tendangan-tendangan keras ke arah perut Ratih. Ratih tak bergeming, ia diam saja menutup perut dengan kedua tangannya. Aku mencoba menahan serangan kedua pria biadab ini, belum sempat aku berhasil, tiba-tiba seseorang meraih pundakku dari belakang. Aku tersayat, aku ingin muntah. Dari dalam perut seolah ada dorongan kuat yang harus aku muntahkan. Aku terjatuh, menggelepar di samping Ratih. Semua kekacauan pun terhenti.

Dingin malam tak lagi terasa. Aku kian hangat. Ratih tertunduk menangis disampingku. Sedan hitam sudah berlalu. Orang-orang pinggiran yang sedari tadi diam kini mulai berdatangan. Tak seorang pun berani menyentuhku. Aku hanya jadi salah satu hiburan mereka di tengah malam dingin yang temaram.

"Kenapa ikut campur urusanku bodoh?"
"Gigolo sinting itu ayah dari janinku.
"Gue bersumpah dia harus mati demi sekaleng bir yang udah gue bayar tadi."
Ratih, air matanya deras mengalir berjatuhan di pipiku. Aku semakin hangat. Dan si kental merah padam ini mulai menggenang, menciptakan kehangatan di sekujur tubuhku.
Ratih, bau harumnya perlahan menghilang. Aku sepertinya sudah dingin atau bahkan hampir membeku.
Lampu jalanan tak lagi menyala, nafas malam tak lagi mempermainkanku. Begitu juga kunang-kunang, tak lagi berterbangan melewati batang hidungku.
Bau harum Ratih sudah benar-benar hilang. Tiba waktuku untuk tidur panjang. Aku tak akan lagi menelan ludah.

0 comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos