Sunday, May 20, 2012

di Blok-S kuleburkan perjakaku

Posted by rismawid at 11:28 AM
"Tanggal 23 bulan depan gue merid sob"
serentak kawan-kawanku menjawab "WHAT??? kenapa begitu mendadak? lu tekdung ya?"
"Enak aja, kaga lah. Bokap yang nyuruh, ga tau lah gue maunya mereka gitu ya gue nurut aja apa kata orang tua. Nyokap bilang sih itung-itung sekalian syukuran karena akhirnya gue lulus sidang juga walau makan waktu nyaris 6 tahun. Tau sendiri syarat gue buat kawin ya ijazah sarjana gue. Padahal abis lulus juga gue tetep kelola cottage-cottage bokap di Lembang, ga bakalan gue nyari kerja."
"Ok gue ga bisa nongkrong lama-lama nih, biasalah kalau kata orang tua, gue lagi dipingit. Tapi weekend ini gue masih joint kok bareng kalian".
Tanpa menghiraukan tanggapan teman-teman, aku pun melengos begitu saja tanpa kupikir ulang apa yang baru saja aku janjikan kepada teman-teman.

Isni pacarku, gadis cantik dari kampus seberang. Sudah 2 tahun yang lalu mendahuluiku meninggalkan kampus, dia lulus sebagai salah satu lulusan terbaik di jurusannya dan mendapat pekerjaan di perusahaan Forwarding milik Belanda di bilangan Jakarta selatan. Isni sangat mapan, hidupnya nyaris tidak ada yang kurang, dia cantik, tubuh semampai, kulit bersih, rambut hitam agak bergelombang, dengan mata agak sipit dan lesung pipit di pipinya membuat dia makin terlihat manis. Selain kesempuranaan fisik yang ia punya, ia pun cerdas dan dewasa. Isni sangat komunikatif, wawasannya luas, dan memiliki kepribadian yang baik. Siapapun akan merasa sangat beruntung jika memiliki Isni, dan akulah si pria beruntung itu.


Sejak kuliah tingkat 2, tepatnya 5 tahun yang lalu aku mengenal Isni. Tak sulit bagiku mengutarakan kenapa aku menyukai Isni, setiap pria pasti memiliki alasan yang sama jika melihat sosok Isni. Tapi yang tak kumengerti adalah, mengapa Isni mau menerimaku sebagai kekasihnya. Tampangku tidak seganteng Dicaprio atau Brad Pit, badanku pun tidak seatletis Christiano Ronaldo, yang lebih parahnya lagi adalah otakku tidak secanggih Steve Jobs, ditambah lagi dompetku tidak setebal Ardie Bakrie. Ya ampun ibarat langit dan bumi jika aku bandingkan diriku dengan Isni. Tapi wanita ini hanya berkata "Kesempurnaan hanya milik Tuhan, yang harus dilakukan setiap manusia adalah saling melengkapi kekurangan". Oh Isni andai Tuhan tidak marah jika aku berkata kau sempurna, maka aku merasa menemukan Firdaus jika bersamamu.

Seminggu menjelang hari pernikahanku, aku tidak terlalu sibuk melakukan ini itu, semua kebutuhan resepsi disiapkan kakak perempuanku. Kakakku lebih sering bertanya langsung kepada Isni dibanding bertanya kepadaku. Yah aku memang tidak mau terlalu ambil pusing untuk urusan resepsi pernikahanku. Yang kupusingkan saat ini hanya pergumulan yang berkecamuk di batinku. Ada setetes keraguan memercik di benak. Ya ampun perasaan apa ini, yang seharusnya berfikir ribuan kali adalah Isni bukan aku. Apa yang harus kuragukan dari Isni? dia mencintaiku, dia setia menungguku sampai aku menggiringnya ke pelaminan betapapun kondisiku masih jauh dibawah kemapanannya. Dia tetap teduh, dia tak banyak menuntutku. Lalu perasaan apa ini, kenapa aku seolah takut menghadapi seminggu lagi, hari dimana aku harus berikrar dan bersumpah. Ah ini hanya perasaan gugup saja. Segera kubuang jauh-jauh ragu yang menari-nari di benakku.

Malam ini weekend terakhirku bersama teman-teman sebagai bujangan, aku menepati janjiku kepada teman-teman. Malam ini kita pesta bujang.

Meluncurlah motor kami ke arah Jalan Pasirkaliki, melewati lampu merah lalu lurus sampai menemukan papan nama sebuah pesantren di kanan jalan, dan kami mulai memasuki gang tidak terlalu besar namun tidak sempit. Motor kami jalankan dengan kecepatan lambat agar kami bisa melihat dengan seksama produk-produk yang dipajang di etalase setiap rumah. Setelah puas berkeliling, berhentilah kami di suatu rumah tidak terlalu besar juga tidak terlalu ramai, kami berempat memarkir motor dan memutuskan memilih rumah tersebutlah yang akan menerima rejeki dari kami. Enam gadis cantik, masih kinyis-kinyis sudah memasang senyum termanis mereka, mengharap dihujani rejeki oleh pembeli yang tidak menyakiti.

Ketiga temanku sudah masuk kedalam kamar masing-masing dengan gadis pilihannya. Aku hanya duduk diam saja di kursi ruang tamu bersama tiga orang gadis yang tidak dipilih teman-temanku. Aku sering datang kesini, tapi aku hanya mengantar lalu menunggu teman-temanku sambil ngobrol-ngobrol dengan gadis-gadis yang belum mendapat penglaris. Aku memang tak pernah ada niat menjadi pembeli mereka. Satu persatu kusapa kuajak berkenalan, salah satu dari ketiga gadis ini bernama Amaya, gadis manis berbadan mungil, kulit putih, make up tidak terlalu tebal, namun tetap berbusana mini. Dia pendiam, hanya senyum sesekali melihat dua temannya merayuku tak henti-hentinya. Beberapa kali Amaya tertangkap mata olehku sedang melirikku diam-diam, seketika itu juga dia akan menjatuhkan pandangannya ke lantai, dinding dan angin. Ah gadis mungil ini, siapa yang membuatmu ada di tempat ini nak???

30 menit sudah berlalu, dua gadis yang tak terpilih itu sudah menemukan rejekinya. Mereka berdua dibawa satu orang om-om senang berdompet tebal, disewa semalaman meninggalkan aku berdua bersama Amaya.
"Sudah dapat pelanggan May?" Pertanyaan bodoh yang selalu membuat beberapa dari penjajak kesenangan ini melempar tatapan ganas.
"Eh belum" senyum simpulnya merekah dari bibir Amaya, manis sekali gadis mungil ini.
"Mami ga marah jam segini belum dapat pelanggan?" pertanyaan bodoh selanjutnya meluncur dari bibirku.
"Gak tau, Maya baru sekarang mangkal disini"
"HAH?? jadi kamu masih V?" dasar Doni bodoh, kenapa tak bisa sedikit elegan ketika mendapat kabar mengagetkan.
"Engga, aku udah pernah sama pacarku"

2 Jam kemudian aku keluar kamar sendirian meninggalkan Amaya yang tergolek lemas tanpa busana diatas kasur rumah si mami, aku sematkan kain tipis diatas tubuhnya yang mungil, ku kecup matanya yang sedari tadi meneteskan bulir-bulir kepedihan hidupnya. Kutinggalkan beberapa lembar lima puluh ribuan diatas meja rias disamping kasur. Aku bergegas membayar kewajibanku beserta bon teman-temanku kepada mami pemilik rumah tersebut. Sontak teman-temanku menyambutku, menyalamiku sambil tertawa-tawa. Tapi aku hanya diam dan langsung mengajak mereka pulang.

Aku dipersimpangan jalan, bukan untuk memilih jalan mana yang harus kulewati, aku tetap ingin disini tanpa harus memilih, karena aku memang tak bisa memilih. Ragu yang sedari kemarin menggelayut di ufuk pikiranku lenyap seketika berganti jadi rasa bersalah. Pernikahanku sudah didepan mata, Isni wanita yang setia menungguku tak akan sampai hati aku membatalkan pernikahan ini. Tubuh mungil itu telah membuatku menyadari betapa aku bukan apa-apa, aku hanya lelaki yang tak mengerti makna kehidupan. Kelamnya kehidupan Amaya membuat pudarnya perasaanku terhadap Isni menampakkan wujudnya.Ya ampun aku kenapa? 5 tahun aku merajut cinta bersama Isni, tak pernah aku meragukan dia ataupun perasaanku, tapi rintihan tubuh mungil itu membuatku tersadar, betapa aku tak memiliki perasaan kuat terhadap Isni.

Aku jatuh cinta kepada Amaya, aku ingin membawanya keluar dari keruhnya rumah mami, aku ingin dia bahagia, aku ingin Amaya selamat tidak mengotori tubuh mungilnya dengan cambuk getir yang membuatnya berdarah dan bernanah. Ah aku terlalu naif, apa bedanya aku dengan hidung belang yang juga menikmati Amaya? Aku menikmatinya, membayarnya, juga membuatnya menangis. Dan aku pun menyakiti Isni dengan dusta.

Blok-S, teman-temanku menamai tempat itu, gang panjang di Jalan Pasirkaliki kota Bandung, disitu kuhabisakan malam demi malam bersama Amaya ketika istriku di Jakarta.



0 comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos