Sunday, March 4, 2012

Jl. Riau 11

Posted by rismawid at 11:27 PM
Cerpen yang kesekian, ceritanya benar-benar pendek

Hari rabu, lagi-lagi aku lingkari kalenderku dengan spidol merah. Bukan pertanda aku datang bulan, bukan pula hari ulang tahunku atau jadwalku minum obat, rabu akan selalu special dihidupku. Di suatu hari Rabu itulah semua dimulai, hanya pada hari rabu aku melihatnya didepan pintu kamarnya, beberapa bulan terakhir ini tak pernah aku lewatkan menengok ke kiri ketika aku meluncur menuruni anak tangga dari lantai 3 ke lantai dasar rumah kost-kostanku, tapi rabu kali ini berbeda, aku melihatnya tak sendirian.

Ironis benar nasibku, menyukai sosok tak kukenal, sosok yang hanya kulihat di rabu pagi antara pukul 6.10 sampai 6.15, sosok yang hanya akan melempar tatapan kosong ke arahku, lalu lurus lagi ke arah pintu kamarnya dan dalam sepersekian detik lenyap ditelan pintu bernomor 2. Dalam waktu yang bersamaan aku pun hanya akan melanjutkan langkahku menuruni tiap anak tangga dengan hati tersenyum.


Hanya pada Vita aku mampu bercerita dan hanya Vita yang berani berkata bahwa aku sakit jiwa, aku tak peduli apa kata Vita, otak dan hatiku kompak menyukai pria kamar nomor 2, hanya mulutku yang tak berani berucap bahkan untuk sekedar kata "hai" mulutku tak kuasa berucap. Aku pengecut Vita bilang, aku egois Vita bilang, akh persetan sama komentar Vita lagi -lagi kalimat itu yang diproduksi otakku, aku suka dia aku ingin dia aku mau menikah dengannya, entah apa dasarnya aku mau itu semua, mungkin benar kata Vita aku sakit jiwa.

Sampai Rabu itu datang aku tak pernah mengetahui bahwa aku belum sembuh dari sakitku, aku melihatnya, pria yang aku sukai, pria kamar nomor 2, dia tak sendirian, dia memasuki kamarnya dengan seorang wanita, pria itu seperti biasanya hanya melempar tatapan kosong ke arahku dan wanita itu tersenyum sinis melihatku, aku marah, hatiku terbakar, aku tak kuasa melihatnya, aku ikuti mereka namun dalam sepersekian detik keduanya lagi-lagi lenyap ditelan pintu kamar nomor 2, aku paksakan tangan ini menggapai daun pintu dan kubuka pintu itu, kudapati mereka berdua bercinta dengan ganasnya dihadapanku.

Pantas saja kau selalu mencaciku ketika aku bercerita, pantas saja kau tak pernah mendukungku, kau ternyata wanita itu, aku tak bisa memaafkanmu, kau benar-benar menyakiti hati dan otakku, kau tak bisa kubiarkan hidup dan mengganggu perasaan serta pikiranku, Vita memang seharusnya begini, kau tak perlu hidup lama-lama, pecahan botol ini memang sepantasnya menusuk dadamu dan membuatmu sulit bernafas, tapi kenapa? kenapa aku bersimbah darah? kenapa aku yang mereka bawa memasuki ambulance?

Beberapa jam yang lalu aku melihat Vita di cermin, aku menusuknya dengan pecahan botol, ketika botol ini kulemparkan ke cermin Vita tak tampak lagi, hanya darah yang mengalir dan serpihan-serpihan kaca yang aku lihat, lalu suara bising orang-orang mengangkat tubuhku, sayup-sayup sirine ambulance membawaku entah kemana aku tak dapat melihat apapun kecuali pria berbaju putih menusukkan jarum di nadiku dan memasang masker beroksigen ke mulut serta hidungku.

Dua Minggu sudah aku jalani di tempat bau obat ini, tempat dimana banyak orang-orang berbaju putih mondar mandir, kadang menyapa, kadang berlalu begitu saja, kadang tersenyum ramah tapi mengambil cairan kental berwarna merah padam dari nadi lenganku, sampai lagi-lagi oh di hari Rabu aku dibawa mereka dipindahkan ke suatu bangunan tidak terlalu besar bertuliskan RS Jiwa Bandung, Jl. Riau 11, katanya disini tempatku seharusnya.

0 comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos