Raka terkejut, ia terus berlari sampai senja keemasan itu menelannya.
“Kenapa wajahmu murung sekali Nika? Sedang bersedih?”
Ibuku selalu bisa menangkap air mukaku, bagaimanapun aku menyembunyikannya.
“Tidak bu, aku hanya sedikit kelelahan selepas bermain tadi.
“Yasudah sekarang mandi dan lekas istirahat, nanti ibu buatkan susu cokelat hangat kesukaanmu.
Mandi
adalah hal yang paling aku benci. Aku tak suka bertelanjang. Tapi ibu
selalu menyuruhku mandi, mandi dan mandi. Apa bagi ibu jika tidak mandi
berarti dosa? Ah ibu andai kau bukan ibuku pasti aku akan melawanmu. Tak
taukah kau bahwa aku sangat tidak menyukai tubuhku ini?
Sejak
aku masih menyatu dengan tubuhmu, kau sudah tahu bahwa aku akan lahir
begini. Bercak-bercak hitam yang menyerupai sisik di sekujur tubuhku membuat aku jijik jika melihat tubuhku bertelanjang tapi kau tetap saja mengajakku singgah di dunia ini. Tidakkah
kau berpikir bahwa akulah yang akan menanggung semuanya kelak?
Siang
ini kau bilang aku harus belajar berenang, berenang dimana bu? Di kolam
renang umum? Tak sadarkah kau orang-orang akan jijik melihatku, tak
sakit hatikah kau melihat anakmu dipermalukan? Kau tetap saja memaksaku
untuk bersikap seperti anak-anak lain pada umumnya.
“Bolehkah aku berenang di danau saja bu?” pintaku merengek pada ibu.
“Tak boleh, danau bukan tempat berenang, itu tempat siluman” ibu malah menakut-nakuti aku.
“Aku tak takut siluman bu, aku bisa berteman dengannya.”
Ibu
berlalu meninggalkanku di pintu dapur, tak sepatah katapun ia lempar
untukku. Baiklah ini tandanya ibu marah dan aku harus menuruti
perkatannya.
Siang
itu pun aku pergi sendiri dari rumah menuju kolam renang di dekat
kampungku. Dari kejauhan aku melihat banyak sekali anak-anak berenang
disana. Aku masuk dan aku melihat Raka teman mainku sedang meluncur dari
perosotan dan menghambur ke dalam air. Mereka begitu riang tertawa-tawa
bermain-main tanpa ragu.
“Hey Nika, cepat ganti bajumu ayo kita berenang bersama” Raka berteriak dari tengah kolam renang. Raka satu-satunya anak seumuranku yang tetap mau bermain denganku, ia tak pernah merasa terganggu dengan tubuhku yang bersisik. Kami biasa bermain apa saja di dekat danau tak jauh dari rumahku. Kali ini aku tak mengindahkan ajakan Raka, aku hanya melempar senyum padanya, dan berlalu dari samping kolam renang.
Aku tak pernah berani melawan ibu, aku selalu menuruti semua keinginan ibu. Ibu bilang ia tahu yang terbaik untukku, tapi kali ini aku merasa ibu tak tahu apa yang terbaik untukku.
Aku tak pernah berani melawan ibu, aku selalu menuruti semua keinginan ibu. Ibu bilang ia tahu yang terbaik untukku, tapi kali ini aku merasa ibu tak tahu apa yang terbaik untukku.
***
“Bu… kenapa menangis?” ibu tak menghiraukan aku. Aku sadar betul ibu tengah marah.
“Aku tadi berenang bu, aku bertemu Raka, aku tak melawan ibu” tapi ibu tetap tak menghiraukan aku.
Aku pun meringsuk ke kamarku meninggalkan ibu yang terus-terusan menangis
“Kenapa
kamu tak menuruti ibu Nika? Ibu tahu yang terbaik untukmu” suara ibu
beradu dengan suara tangisnya memecah keheningan lamunanku. Aku bergegas menghampiri ibu.
“Maafkan aku bu, hukumlah aku bu, tapi ibu berhenti menangis ya bu” Ibu tetap tak peduli padaku. Jangankan memaafkanku, menatapku pun ibu seperti enggan.
“Kenapa kau lebih memilih berteman dengan siluman-siluman itu ketimbang menuruti kata-kata ibu?” lagi-lagi ibu meninggalkanku di pintu
dapur, dan mengunci diri di kamarnya. Aku sangat sedih dan menyesal.
Tak kusangka ibu begitu marahnya mengetahui aku berbohong. Tapi aku tak mengerti darimana ibu tahu aku berbohong? Apa mungkin Raka yang bicara? ah tidak mungkin, sepulang berenang Raka pasti pulang ke rumahnya.
Sore
itu langit begitu indah, senja memerah memancarkan kemilau keemasan,
burung-burung berlarian menuju sarang, desir angin menjatuhkan dedaunan
rapuh dan beberapa menimpaku dengan lembutnya. Aku berjalan menuju
danau, kuliahat Raka terduduk ditepinya menatap air danau yang
berkilauan karena pancaran senja.
“Hey
Raka, sedang apa disitu?” aku panggil dia dari kejauhan. Setengah
berlari kuhampiri ia. Raka menatapku, ia begitu terkejut dan tampak ketakutan kemudian
berlari meninggalkanku sendirian. Kupanggil ia berkali-kali, namun tak
juga Raka memperdulikan panggilanku. Aku benar-benar sedih. Kuhampiri tempat Raka tadi terduduk, kutemukan secarik kertas. Raka menulis sesuatu.
“Nika, benarkah kamu berteman dengan siluman danau ini?”
Hari
mulai gelap, aku bergegas pulang, berharap ibu sudah tak marah lagi.
Kucari ibu ke kamarnya, tapi ia tak nampak, kucari ibu ke dapur, pun tak
ada. Ah ternyata ibu ada di kamarku. Ibu menyalakan dupa dan menyimpan sesajen di depan fotoku. Lalu ibu mulai berdoa.
“Dewa yang agung, tuntun jiwa Nika anakku, biarkan ia pulang jangan biarkan ia tersesat, ia bukan anak pembohong”
Dewa yang agung apa yang terjadi denganku? kenapa sesajen itu disimpan di depan fotoku? plakat merah di depan rumahku itu apa? lalu kenapa ibu menaburkan tepung di lantai? seketika itu aku tersadar, ibu sedari tadi tak dapat melihatku. Pantas ia tak memperdulikan aku rupanya aku tak bisa bersama ibu lagi.
Air mata melebur dengan kesedihanku, aku berlari menabrak apapun dihadapanku, tapi semua terasa kosong, aku menembus semua benda, tubuhku ringan, kakiku seperti melayang diatas tanah.
***
Jejak kakiku tertinggal di atas tepung yang ibu sebarkan di lantai
"Maaf bu, kau benar, kau selalu tahu yang terbaik untukku. Danau memang bukan tempat untuk berenang"
0 comments:
Post a Comment
silahkan anda berkomentar