Friday, January 13, 2012

kesempatan itu bukan untukku

Posted by rismawid at 12:39 PM
lagi-lagi cerpen yang ga tau layak apa engga dipublikasikan!!

"Apa yang ditunjuk patung ini ya? Aku dipersimpangan jalan tak tahu sedang menunggu apa, jika aku menengadahkan kepalaku ke atas jembatan aku meihat patung mengacungkan tangannya ke arah utara, kondektur bilang ini Pancoran".
"Kamu lagi di Pancoran Gi?"
"Sepertinya begitu".

Lima tahun aku menyimpan rapat-rapat perasaanku terhadap Agi, tak seorang pun yang mengetahui perihal tersebut, tidak Agi, tidak juga diriku, aku paksa diriku berpura-pura tidak tahu perihal tersebut, aku terlalu tak punya keberanian untuk jujur, aku terlalu bingung menterjemahkan perasaan apa yang berkecamuk di hati, tapi hari itu sepertinya yang maha kuasa memberikan jalan kepada kami untuk saling berani jujur terhadap perasaan masing-masing.
"Mungkin rasa ini berasal dari kekagumanku terhadpmu Gi, tak pernah aku menyangka kalau perasaan ini terawat utuh selama bertahun-tahun didalam hatiku bagaimanapun keadaanku saat ini".
"Kenapa sih kamu ga bilang dari dulu Kar?"
"Aku ragu terhadap semuanya, aku tidak mau merusak pertemanan kita, aku hanya tetap ingin bisa menjadi teman baikmu."
"Kara aku suka kamu, aku cinta kamu, dari dulu sama halnya seperti kamu"
"Kamu sendiri kenapa ga bilang dari dulu?"
"Aku terlalu khawatir, akan banyak yang menjadi rivalku jika aku paksa ungkapkan".
Sudahlah Gi, semua sudah sangat terlambat, menyesal pun tak akan merubah keadaan, tiga tahun sejak aku lulus kuliah kita dipisahkan jarak karena kehidupan masing-masing, Jakarta-Bandung bukanlah jarak yang begitu berarti jika semua masih mungkin, namun kenyataannya lain, sama-sama di satu kota pun jika sudah tak ada kesempatan lagi tetap akan sulit.
Bertahun-tahun aku tak jumpa Agi, kami hanya saling sapa dan ngobrol di udara, itu pun dengan waktu yang sangat terbatas yang hanya bisa dilakukan pada jam kerja, aku sadar Agi bukan milikku tak ada hak untukku memintanya menemaniku sepanjang hari, kami berdua sangat menyadari hal itu, sesak bukan main rasanya tak pernah bisa merasakan menjalin dengan dia yang aku cintai.
Hari ini entah apa yang membuat Agi datang ke Jakarta dan hanya mengirimiku pesan tanpa ada niat menemuiku, aku kaget gusar dan nyaris hilang kendali ketika tahu Agi berada di Pancoran, tempat itu hanya beberapa meter dari tempat tingggalku di Jakarta, tentu saja aku tak bisa mengingkari perasaanku, aku teramat sangat ingin bertemu dengannya.
“Aku pulang dulu ya Kar, sesampainya di Bandung aku kabarin kamu”
Pesan tersebut masuk ke ponselku dan telah berhasil membuatku sulit bernafas.
“Kenapa pulang semalam ini Gi?
“Aku harus pulang Kar, bye… Aku sayang kamu Kar”
Pesan terakhir semakin membuat aku sesak, Tuhan, betapa aku ingin menemuinya, betapa aku merindukannya, sudah sedekat ini jarak kami masih saja tak ada kesempatan untukku.
Malam ini kalut, aku serba tak tahu apa yang bergumul di otak, sejuta pertanyaan seolah terus menggelayut di ujung kesadaran, hati mencinta namun hampa, tubuh berpeluh namun tak bertenaga, tapi aku tak seperti orang mati suri, pun tak seperti seseorang yang menunggu hukum pancung. Ah tidak tahu lah perasaan apa ini, menunggu sudah tidak mungkin, mengharap apalagi, hanya bisa pasrah terima nasib. Berjuta kejujuran berteriak dalam hati ingin berucap "datanglah kemari walau hanya untuk secangkir teh tawar hangat", namun apalah artinya kedatanganmu, semua sudah tak ada gunanya lagi, walau hati ini terus berteriak.
Detak jarum jam semakin lantang terdengar, keheningan hati semakin tegas, malam semakin menggeliat tapi mataku tak juga mengatup untuk sejenak melepaskan kelelahan demi kelelahan hidup, hangat di pipi tetesan-tetesan embun di tengah malam, aku sadar aku tengah menangis kini, entah apa yang aku tangisi, takdir kah? penyesalan kah? Aku tak pernah bisa mengungkapkan ini kepada siapapun, demi kesucian hati dan perasaan kita, aku tak pernah meminta Agi menemuiku, begitu juga Agi, tak pernah ada keberanian untuk mencoba menemuiku, aku tak mau berkhianat, aku juga tak mau jika kau berkhianat. Sudahlah biarkan ini hanya kita yang rasa, hanya kita dan Tuhan yang tahu, aku cukup tegar menghalau semua perasaan ini, jalani hidupmu seperti biasa dan aku pun akan begitu. Aku hanya akan berdoa semoga Tuhan mempertemukan kita lagi entah di alam mana aku tak peduli yang pasti aku ingin menuntaskan rasa ini denganmu.

0 comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar


 

Hot Tea Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos